Kitab yang Tidak Masuk Akal itu Bibel, Bukan Al-Qur'an

Kitab yang Tidak Masuk Akal itu Bibel, Bukan Al-Qur'an Mengkritisi Buku Penodaan Islam di Gramedia (7) Pada bab “Alkitab dan Al-Qur'an” buku Sang Putra dan Sang Bulan, evangelis Curt Fletemier memaralelkan ayat-ayat Bibel dan Al-Qur'an yang dipilih secara acak, lalu membandingkannya sedemikian rupa sesuai kemauannya. Dengan melepaskan dari konteks ayat (munasabatul ayat), Curlt mengomentari ayat-ayat seenaknya untuk mengesankan Bibel jauh lebih hebat daripada Al-Qur'an. Setelah mengutip Injil Matius 5:43-44, Curlt mengutip beberapa ayat untuk membandingkan pandangan Al-Qur'an dan Bibel mengenai perang. Ayat Al-Qur'an yang dikutip antara lain: surat Al-Baqarah 216, Al-Ma’idah 33, dan At-Tahrim 9. Sedangkan ayat Bibel yang dikutip antara lain: Lukas 6:35, Yohanes 18:36, dan 2 Korintus 10:3-5. Terhadap ayat-ayat Al-Qur'an di atas, Curl berkomentar negatif: “Ini jelas merupakan pernyataan perang yang sangat agresif. Sifatnya menyerang.... Namun tentu saja, orang-orang Muslim biasa yang mempunyai akal sehat dan yang tinggi nilai kemanusiaannya, akan mengabaikan saja ayat-ayat semacam ini,” (hlm 26). Pernyataan ini jelas melecehkan Al-Qur'an sebagai kitab yang tidak cocok bagi Muslim yang berakal sehat dan berperikemanusiaan. Ayat-ayat perang dalam Al-Qur'an adalah syariat yang indah dan masuk akal. Dalam surat Al-Baqarah 216 Allah mensyariatkan kewajiban berperang, meskipun syariat ini dibenci kebanyakan manusia. Karena setiap manusia pasti memimpikan kedamaian yang jauh dari perang, konflik dan pertumpahan darah. Tapi dalam kondisi tertentu, perang dan pertumpahan darah justru diwajibkan untuk mewujudkan perdamaian, membela kaum tertindas, menumpas kejahatan dan kezaliman. Kepada penjajah yang terlebih dahulu melakukan penyerangan dan penganiayaan, maka Allah mewajibkan angkat senjata memerangi mereka. “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” (Qs Al-Hajj 39). “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (Qs Al-Baqarah 190). Dalam ayat tersebut perlu digarisbawahi bahwa syariat perang ada aturan mainnya, antara lain tidak boleh dilakukan secara brutal melampaui batas. Jihad perang tetap menjunjung tinggi akhlak mulia, keadilan, kemanusiaan dan kedamaian. Beberapa syariat perang yang tidak boleh dilanggar, antara lain: tidak membunuh wanita dan anak-anak (hadits Muttafaq Alaih), tidak boleh membakar, menyiksa dan memotong-motong anggota tubuh, merusak pepohonan (HR Bukhari), dll. Ayat-ayat syariat perang dalam Al-Qur'an itu dikesankan sadis, bengis, tidak berperikemanusiaan dan bertentangan dengan akal, karena digambarkan bila berlaku dalam kondisi apapun, termasuk kondisi damai. Ini adalah distorsi yang disengaja oleh penginjil. Padahal, ayat-ayat Al-Qur'an itu tidak bisa dilepas dari konteksnya. Dalam kondisi damai, maka ayat yang berlaku adalah ayat-ayat perdamaian. Sebaliknya dalam kondisi perang, ayat yang harus diberlakukan adalah ayat perang, bukan ayat damai. Pada situasi damai, ayat yang berlaku adalah ayat perdamaian: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu” (Qs Al-Mumtahanah 8). Sedangkan dalam situasi perang, Allah memberlakukan syariat angkat senjata terhadap musuh yang terlebih dahulu melancarkan peperangan: “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (Qs Al-Mumtahanah 9). ...Keindahan syariat perang inilah yang tidak dimiliki Alkitab (Bibel). Dua bagian Bibel... Berdasarkan firman Allah SWT tersebut, maka ayat-ayat yang berkaitan dengan situasi damai harus diterapkan dalam situasi damai, jangan diberlakukan pada situasi perang. Sebaliknya, ayat-ayat yang berkaitan dengan situasi perang harus diperlakukan dalam situasi perang, jangan diberlakukan dalam situasi damai. Keindahan syariat perang inilah yang tidak dimiliki Alkitab (Bibel). Dua bagian Bibel, Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mengajarkan konsep yang sangat bertentangan secara ekstrem. Dalam Perjanjian Lama (Ulangan 20:1-20), Tuhan mewajibkan peperangan dalam satu perikop (bab) khusus yang disebut dengan “Hukum Perang.” Disebutkan bahwa dalam penyerbuan kepada musuh, terlebih dahulu harus ditawarkan perdamaian. Jika musuh menerima berdamai, maka musuh tersebut harus dijadikan sebagai budak pekerja rodi. Tapi jika musuh tidak mau berdamai, maka harus dikepung dan diperangi habis-habisan. Seluruh penduduk laki-laki harus ditumpas dengan pedang, sedang anak-anak, wanita dan hewan-hewannya boleh dijarah dan dirampas sebagai harta rampasan perang. Untuk beberapa suku lainnya, maka semua yang bernafas harus ditumpas. ....Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mengajarkan konsep yang sangat bertentangan secara ekstrem... “Tetapi dari kota-kota bangsa-bangsa yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu, janganlah kau biarkan hidup apapun yang bernafas, melainkan harus kau tumpas sama sekali” (Ulangan 20: 16-17). Dibandingkan dengan syariat perang dalam Al-Qur'an yang begitu indah, siapapun akan menilai bahwa hukum peperangan dalam Bibel itu sangat sadis dan tak kenal kemanusiaan. Sementara dalam Perjanjian Baru, Bibel mengajarkan konsep yang sangat ekstrem dengan melarang segala bentuk perlawanan, termasuk perang melawan penjahat, penjajah dan orang-orang zalim. Yesus dalam Injil memerintahkan kepasrahan total kepada penjahat. “Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu” (Matius 5: 39, Lukas 6: 27-29). Bisa dibayangkan bila ajaran kepasrahan buta dalam Bibel itu dipraktikkan. Betapa kacaunya stabilitas keamanan bila kejahatan tidak boleh dilawan. Betapa bahagianya penjahat, penjajah dan orang-orang zalim, karena kejahatan mereka tidak ada yang melawan. Yang jahat makin jahat, yang zalim makin zalim, dan yang lemah makin tertindas bila ayat ini diamalkan. Ayat ini tidak relevan di segala zaman, sehingga Dr FF Bruce, profesor studi Kritik Alkitab dan Eksegese di Manchester mengakui dengan jujur: “Ini merupakan perkataan keras dalam arti bahwa perkataan ini menetapkan sebuah tindakan yang tidak lazim bagi kita”. (The Hard Saying of Jesus, hal. 62). ....para pakar bibliologi Katolik memvonis ayat yang bertentangan dengan akal sehat ini sebagai ayat palsu... Tak perlu repot-repot berpolemik, para pakar bibliologi Katolik memvonis ayat yang bertentangan dengan akal sehat ini sebagai ayat palsu: “Matius 5:39, melawan orang yang berbuat jahat kepadamu tidak ada dalam naskah Yunani” (Pengantar dan Catatan Kitab Suci Perjanjian Baru, hlm 32). Jelaslah, betapa indahnya syariat jihad dan perang dalam Al-Qur'an. Semakin jelas pula ajaran Bibel yang tidak masuk akal, karena terdapat penyisipan (insersi) ayat-ayat tambahan. Bersambung [A. Ahmad Hizbullah MAG/suara islam] Bukti-bukti Keaslian Al-Qur'an dan Kepalsuan Alkitab (Bibel) Mengkritisi Buku Penodaan Islam di Gramedia (7) Pada pasal 13 buku “Sang Putra dan Sang Bulan; Kristen dan Islam” (terjemahan edisi Inggris Christianity and Islam: The Son and The Moon), secara khusus evangelis Curt Fletemier berusaha menghantam keaslian Al-Qur'an melalui sisi sejarah penulisannya. Salah satu faktor yang meragukan keaslian Al-Qur'an, menurut Curlt Fletemier adalah adanya bagian Al-Qur'an yang hilang ketika seekor kambing memakan daun-daun palma tempat bagian-bagian Al-Qur'an ditulis (hlm. 159). Jurus-jurus perancuan sejarah Al-Qur'an itu sudah sangat usang. Secara ilmiah, berbagai tudingan para orientalis dan misionaris yang menyerang otentisitas Al-Qur’an itu sudah terjawab buku monumental Prof Dr Muhammad Mus­thafa Al-A’zami The History of The Qur’anic Text, From Revelation to Compilation (edisi Indonesia: Sejarah Teks Al-Qur’an, Dari Wahyu Sampai Kompilasinya). Curlt belum tahu bahwa secara teknis, faktor keaslian Al-Qur'an terjaga bukan oleh tulisan dan manuskrip, tapi oleh banyaknya intelektual penghafal Al-Qur'an sejak zaman Nabi hingga saat ini. Sudah tak terhitung berapa juta manusia yang hafal Al-Qur'an di luar kepala tanpa salah satu titik koma pun. Dengan banyaknya para penghafal Al-Qur’an di seluruh dunia, maka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berani ber­komentar: “Umat kita tidaklah sama dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang tidak mau menghafal kitab suci mereka. Bahkan seandai­nya seluruh mushaf itu ditiadakan, maka Al-Qur’an tetap tersimpan di hati kaum muslimin.” Bila dibandingkan secara objektif, maka ada tiga perbedaan mendasar antara sejarah Al-Qur'an dan Bibel: Pertama. Al-Qur’an ditulis oleh puluhan juru tulis wahyu langsung di bawah pengawasan Rasulullah SAW. Beliau mendoku­men­tasikan Al-Qur’an dalam bentuk tertulis sejak masa turunnya wahyu. Karenanya, beliau menugaskan puluhan shahabat sebagai penulis wahyu, antara lain: Abban bin Sa’id, Abu Ayyub Al-Ansari, Abu Umamah, Abu Bakar As-Siddiq, Abu Hudzaifah, Abu Sufyan, Abu Salamah, Abu Abbas, Ubayy bin Ka’ab, Al-Arqam, Usaid bin Al-Hudair, Khalid bin Sa’id, Khalid bin Al-Walid, Az-Zubair bin Al-‘Awwam, Zubair bin Arqam, Zaid bin Tsabit, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Umar bin Khatthab, ‘Amr ibn Al-’Ash, Mu’adz bin Jabal, Mu’awiyah, Yazid bin Abi Sufyan, dll. Saat wahyu turun, secara rutin Rasulullah me­­manggil para penulis yang ditugaskan agar mencatat ayat tersebut. Dalam hal penulisan ayat yang baru turun, Nabi memiliki kebiasaan untuk meminta penulis wahyu untuk membaca ulang ayat tersebut setelah menuliskannya. Menurut Zaid bin Tsabit, jika ada kesalahan dari penulisan maka beliau yang mem­betul­kannya, setelah selesai barulah Rasulullah membolehkan menyebarkan ayat tersebut. Sementara Bibel ditulis dalam waktu puluhan hingga ratusan tahun sepeninggal para nabi yang menerima wahyu dari Tuhan. Sementara kitab Perjanjian Lama disusun antara tahun 1.400 sampai 400 Sebelum Masehi, sedangkan Per­jan­jian Baru disusun antara tahun 50-100 Masehi. Ketidakhadiran para nabi dalam proses penulisan Bibel, menjadi peluang tersendiri terhadap pemalsuan (tahrif) terhadap kitab suci. Kedua. Al-Qur’an dihafal oleh para shahabat yang langsung belajar kepada Nabi Muhammad SAW, sedangkan Bibel sama sekali tidak dihafal oleh orang-orang yang mengimani­nya. Ketiadaan orang yang hafal Bibel, tentu­nya memperbesar peluang distorsi dan pemalsuan ayat. Ketiga. Proses pembukuan Al-Qur’an adalah penya­linan ayat-ayat yang mengacu pada tulisan dan hafalan yang ditulis dan dihafal langsung di hadapan Rasulullah SAW semasa hidup­nya. Sedangkan pembukuan Alkitab mengacu pada tulisan manuscript evidence dalam bentuk papyrus, scroll, dan sebagainya. Manuskrip-manuskrip ini pun penuh dengan masalah, sebagian tidak diketahui penulis­nya, sebagian lagi rusak dan tak terbaca. Kepalsuan dan Kehancuran Alkitab (Bibel) Pada Bab Kedua (hlm. 31-42), Curt Fletemier memuji otentisitas kitab Injil dalam Alkitab (Bibel). Menurutnya, saat ini umat Kristen memiliki lebih dari 5.300 naskah kuno Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani. Sebelumnya sudah ada 15.000 salinan naskah kuno lainnya yang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Syria dan Koptik. Ada 268 naskah kuno dengan huruf besar, di antaranya berasal dari abad kelima dan abad-abad setelahnya. Untuk lebih meyakinkan pembaca, Curlt mengurai sejarah penulisan Alkitab berbagai naskah: Codex Vaticanus, Codex Sinaiticus, Codex Alexandrianus, Codex Ephraemi, dan Codex Bezae. Setelah puas memamerkan sejarah Alkitab, penulis menutup Bab Kedua itu dengan kesimpulan singkat: “Dengan memberikan bukti-bukti dari bapak-bapak gereja, kita dapat dengan yakin mengatakan bahwa kita memiliki bukti-bukti teks yang lebih baik untuk kelayakan kitab-kitab Perjanjian Baru daripada Al-Qur'an yang dimiliki oleh orang Islam,” (hlm. 42). Betapa hebat pujian Curlt Fletemier terhadap buku yang bernama Bibel. Namun pujian ini runtuh seketika dalam Bab Ketiga. Curlt sendiri yang menjatuhkan wibawa Alkitab dengan kalimat sbb: “Perubahan Ejaan dan Kesalahan Penulis: Oleh karena suatu bahasa mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu, maka ejaan sebuah kata dapat saja berubah. Kadangkala seorang Ahli Kitab yang sudah letih dapat membuat kesalahan ejaan atau membuat salinan satu kata yang sama sampai dua kali. Dari 200.000 atau sekian banyaknya kata-kata dalam Perjanjian Baru, bisa terdapat 8.000 kemungkinan perbedaan semacam ini” (hlm. 44). Pengakuan Curlt tentang adanya ribuan kesalahan penulisan Bibel patut diapresiasi. Memang tak ada yang bisa dibanggakan dari kemajuan penerjemahan Alkitab ke dalam ratusan bahasa di seluruh dunia. Karena upaya memper­tahankan otentisitas Alkitab (Bibel) terhalang oleh fakta, bahwa naskah asli Alkitab yang disebut “autographa” sudah hancur dimakan umur. Rev David J Fant dari New York Bible Society, mengakui bahwa naskah asli Alkitab telah hilang: “The question naturally arises, do any of the original manuscripts of the Bible still exist? The answer is No. The original manus­cripts were on papyrus and other perishable materials and have long since disappeared” (Simple Helps and Visual Aids to Understanding The Bible, hlm. 6). Artinya: Persoalan yang biasanya ditanya, adakah naskah-naskah asli Alkitab (Bibel) masih ada sehingga kini? Jawabannya tidak. Naskah-naskah asli di atas papirus dan bahan-bahan lain yang mudah rusak semuanya telah lama hilang. Karena naskah aslinya sudah punah, maka upaya yang dilakukan oleh para ilmuwan Kristen adalah menyalin salinan yang lebih tua dan menerjemahkan dari bahasa yang satu ke bahasa lain. Dalam proses revisi dan terjemahan yang demikian panjang itu, otentisitas Alkitab sama sekali tidak terjamin, akibat bergesernya ayat dari versi yang lebih tua ke versi yang lebih muda usianya. Semakin banyak terjemahan dan revisi, maka semakin jauh berbeda dari kebenaran kitab suci yang asli. Bahkan dalam banyak kasus yang terjadi, komentar atau catatan kaki (footnote) dalam versi Alkitab kuno, ternyata dalam versi Alkitab yang baru catatan kaki tersebut naik pangkat menjadi ayat yang resmi. Contohnya adalah kitab I Yohanes 5: 7-9!! bersambung [tim fakta, sabili]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JENIS SPEDA

Abdurrahman bin Muljam Muslim Taat Yang Sesat Membunuh Ali bin Abi Thalib

Perbedaan Ahlus Sunnah Waljamaah dengan Syi'ah